Friday, November 5, 2010

Detik-detik Evakuasi Merapi: Ketika Bernard Berhenti Tertawa

i just like the way he wrote the story. and i would share it to all of you, to tell how patethic the situation in Yogyakarta right now.
but once more, this is not a punishment. this is the way to make Jogja's people being more strong.
for the author : let me share this ya! :)
source here.


Hujan abu masih turun tipis di luar jendela ketika saya menulis ini. Limabelas jam yang lalu, jam 19.30, 4 November 2010, sedikit heranketika ambulan jemputan tiba di rumah on time, saya dan rekan dari Puskesmas berangkat tugas jaga pos kesehatan Hargobinangun. Cuacamendung, nyaman menyeka kering abu yang membedaki Beran (ibukota administratif Sleman), perlahan kami berangkat melintasi desa-desa menuju Hargobinangun, 17 km dari puncak Merapi. Harapan yang cerah, jaga malam santai, cuaca dingin yang nyaman, plus minumsusu dan obrolan hangat di pos kesehatan menanti kami. Setidaknya itu bertahan sampai 1/4 perjalanan, ketika memasuki wilayah Ngaglik,25 km dari puncak Merapi, kabut menyergap kami. Aneh, kabut di jarak sejauh ini dari gunung. Kabut yang aneh pula, tidak dingin dansejuk, tapi pucat, kering, pengap, tak bergerak, dan terasa sangat berat untuk ditembus. Kabut serupa yang saya jumpai mengawali hujanpasir erupsi besar Merapi Sabtu dini hari lalu. Pikiran saya melayang jauh ke pos tujuan kami, amankah?. Di benak saya, jangan-janganHargobinangun dan 5000 penghuninya sudah tenggelam dalam pasir seperti kota Pompeii. Dan kami telusuri lembah-lembah gelap desaterakhir dengan pikiran kelam.

Hingga kilometer terdekat dengan barak pengungsian Hargobinangun kabut diam itu masih sangat pekat. Di tepian jalan kaliurang, satukilometer di bawah barak, tampak stasiun TV swasta sedang live di tepi jalan, agaknya menyadari juga fenomena aneh setelah hujanseharian itu. Semoga mereka tidak membuat berita menyesatkan seperti kemarin. Cukup melegakan. Lebih melegakan lagi ketika beberaparatus meter kemudian kabut itu menipis, teriring ramai cahaya balai desa Hargobinangun, barak pengungsian terbesar dan terkokoh daribarak lain. Pukul delapan malam namun barak sudah sepi. Dipeluk kabut yang berubah menjadi hujan abu ringan, nampaknya semuapengungsi terbaring nyaman beristirahat di 3 komplek bangunan permanen yang tersedia (balai desa, gedung SD dan SMP, dan bangunankhusus barak raksasa hasil cicilan masyarakat Pakem). Dan pos kesehatan, markas besar kami, masih tampak serupa, penuh tumpukan obatyang terlalu lengkap karena banyak sponsor, catatan resep tak jelas, register setumpuk, dan kardus-kardus masker, dan anggota-anggotaTagana yang bercengkerama.

Menyenangkan jaga malam di pos kesehatan Hargobinangun akhir-akhir ini, tenang, tidak begitu berjubel pasien. Beruntung kami denganadanya beberapa pos kesehatan LSM yang didirikan di sudut-sudut lain barak, beban berkurang, hanya cukup sedikit koordinasi, obatmereka yang lebih lengkap dan coverage pasien maksimal. Hingga untuk ukuran Puskesmas yang dipindah ke barak, kami bisa bersantai,jalan-jalan, dan tidur tentu saja. Dan anggota-anggota Tagana (Taruna Siaga Bencana) yang memiliki bench tepat di depan bench kamiitulah pelampiasan keisengan. Kebetulan topik malam itu ketawa ala Bernard Bear, dan ternyata mereka fasih menirukan gaya si beruanggendut tersebut, sepertinya semalaman kami akan berhaha hihi.

Getaran dan gemuruh merapi tak pernah henti terdengan sejak saya tiba. Akhirnya terbiasa, baik pengungsi maupun saya, dengan bunyiseperti dentum, deru dan guntur bersambungan yang membuat kaca berderak, hingga menggetarkan badan yang diam. Jam menunjukkanpukul 23.30 ketika beruang-beruang di pos kesehatan menggelar kasur dan membaca doa pengantar tidur, berharap semua tenang. Semuaterlelap, kecuali saya yang memang tak mudah tidur di kondisi tersebut. Saya mencoba mengabaikan, tapi menjelang pukul 00.00 sayarasakan bunyi gemuruh itu semakin keras, semakin dekat, semakin mengguncang. Agaknya beberapa rekan dan pengungsi jugamerasakannya. Mereka berjalan dan berkumpul di halaman luar balai desa. Saya bangkit, memakai sepatu dan menatap mereka dari selasarpos kesehatan. Tampak kepala desa dan koordinator barak sibuk mengontak HT, sesaat kemudian tiba-tiba mereka berlari menujubeberapa barak, diikuti anggota-anggota TNI. Saya masih berdiri di depan pos kesehatan, terheran dengan gemuruh yang makin mengeras,dan mulai curiga ketika kabut aneh serupa ketika saya tiba muncul kembali dan memekat. Tiba-tiba terdengar keributan, pengungsi di barakterdekat berhamburan keluar menuju jalan, semakin banyak yang menghambur keluar. Satu yang melintas saya hentikan, dan pertanyakankenapa, jawaban menghambur dalam kepanikan "dok, semua pengungsi diminta segera turun ke stadion Maguwoharjo!"

Maguwoharjo? sungguh tak masuk akal menurut saya, bukankah itu di tepian kota? 25 kilometer lebih evakuasi masif ribuan orang dalamhitungan menit!??

Kepanikan menyeruak, barak Hargobinangun yang semula lelap sontak bangun dalam histeria ancaman bencana. Pengungsi berlarian kejalan, menaiki angkutan apapun yang kebetulan berada. Puluhan TNI yang tegar tak kuasa menahan 5000an orang yang berhamburan,dalam teriak dan tangis, berebut kendaraan.Truk, bus, mobil, pikap, pengangkut pasir sekejap penuh sesak dengan manusia, berdesakan,berebutan, saling himpit. Carut marut suasana panik, tangis bercampur dengan teriakan memanggil dan mencari sanak keluarga. Sepasangmanula berpakaian lusuh seadanya, berusaha berlari menuju jalan masing-masing tangan penuh memegang kardus, tikar dan bungkusan;hebatnya mereka masih berusaha berpegang tangan. Seorang lelaki renta, lupa tak menenteng apa-apa, berdiri kebingungan melihatperebutan sudut ruang angkutan yang tersedia, mematung tanpa bisa berkata; hingga beberapa anggota TNI mengangkatnya ke atas trukbak terbuka. Anak-anak menangis, tak tahu apa yang diperbuat orang tuanya, menyeret mereka dari tidur lelapnya. Semua teriakmenenangkan tenggelam dalam badai kepanikan, hingga serak suara dan kami tertunduk putus asa. Bayangkan, dalam 20 menit 5000orang telah bergerak dalam muatan penuh sesak yang penuh tangis..

Dua orang jompo yang tak dapat berjalan menjadi jatah evakuasi kami, ambulan yang penuh sesak beranjak pelan menjadi angkutanpengungsi terakhir. Tatap mata nanar sang kakek menatap balai pengungsian yang sekian hari telah dihuninya, ruang-ruang yang semulariuh tampak senyap, pintu-pintunya ditutup dan dikunci oleh TNI dan Tagana terakhir yang pemberani. Barang-barang pengungsi tampakberceceran, di dalam maupun di halaman, terserak pula dalam kenangan. banyak diantara mereka yang hanya membawa baju yang merekapakai. Dalam senyap, ambulan kami melaju, dan hujan turun perlahan...setidaknya bila memang itu dapat disebut hujan.

Semula memang tetes air yang menyentuh lengan, namun beberapa saat kemudian tetes itu menghitam dan berubah menjadi bulatan-bulatan besar tepat saat kami memasuki ambulan, 15 menit setelah rombongan utama berangkat. Kemudian bukan lagi air yang jatuh darilangit, namun lumpur bercampur kerikil. Ambulan yang bergerak pelan, berjalan semakin pelan karena penyeka kaca depan tak mampumenepis hujan lumpur. Sesekali kami berhenti, menyiramkan air mineral kemasan ke kaca depan, sekalipun sekian detik kemudian kaca itusudah terpekati pasir kembali. Menit demi menit kami merangkak turun, ke selatan, menjauh dari sumber petaka. Memasuki distrik Pakem,3 km di bawah Hargobinangun, kami baru menyadari bahwa wilayah itu sudah seperti kota mati, listrik padam, hanya pengendara sepedamotor berjajar di emper toko karena tak kuat menembus hujan lumpur. Kemacetan terjadi di ketika melewati kampus UII 4 km kemudian,agaknya para mahasiswa panik dan berebut mengungsi ketika mengetahui rombongan utama pengungsi Hargobinangun melintas. Jalanutama penuh, benturan antar kendaraan tak ayal terjadi. Terjebak dalam kecepatan nol, kami pasrah. Saya hanya menatap kaca mobil yangtak mampu meneruskan pandang. Gurat-gurat lumpur di balik kaca mengalir, sebagaimana air mata ribuan pengungsi di kendaraan bakterbuka, menembus siraman lumpur pasir dan kerikil, meniti kilo demi kilo yang berlalu begitu pelan. Dan benar bahwa waktu terasabertahun untuk hal yang tak kita sukai..

Duapuluhribu pengungsi bergerak sekaligus menembus malam badai. Entah berapa ratus pengungsi yang tercerai dari keluarganya danberapa lagi yang mengalami kecelakaan di perjalanan mengerikan sekaligus menakjubkan ini..

Lebih dari satu jam perjalanan kami memasuki pinggiran kota, melintas ringroad menuju Stadion Maguwoharjo. Hujan tak turun sejak kamimendekati kota, tapi debu vulkanik pekat menghambat pandang. Saya belum pernah datang ke stadion itu, hanya mengamati foto, stadionbaru yang agak tersendat pembangunannya, landskap absurd di tengah pemukiman penduduk suburban, yang belum disetting sebagaibarak pengungsian. Namun bayangan kelam saya sontak hilang ketika cahaya kemilau itu muncul di depan kami. Layaknya bahtera di lautankelabu, bangunan besar itu terapung bercahaya, begitu cerah, begitu hangat. Perlahan kami mendekat. Tiga lantai, penuh manusia, danmasih juga dikitari manusia dan kendaraan. Puluhan petugas menyambut dan mengarahkan kami. Perjalanan hitam berakhir, entah kenapabadan kami yang diberati pasir dan debu, seolah terlepas dan menjadi ringan, sangat ringan..

Entah kenapa, dalam kondisi seperti itu rasa lelah sama sekali tak terasa. Selepas dropping pasien bawaan di ruang observasi, saya masihmeneruskan pemeriksaan dan pengobatan umum hingga siang menjelang. Pepatah kuno bilang, manusia lebih cepat letih bila sedangaktivitas bersenang-senang.. benarkah?

HT berteriak, mengabarkan banyak korban tewas di Argomulyo, Cangkringan.. Ya, mengungsi adalah dilema. Mudah bagi mereka berkata"sudah disuruh mengungsi tetap bandel".. mungkin sang pemberi komentar tersebut sekali waktu perlu mengalami menjadi dan merasakanhidup sebagai pengungsi Merapi.

Dan benar, masalah utama mobilisasi mendadak masif tentu saja terpecahnya keluarga. Semenjak pagi, pengeras suara lebih banyakmeyerukan nama orang-orang yang mencari anggota keluarganya. Stadion Maguwo yang tak pernah memiliki perlengkapan barakpengungsian disulap menjadi barak seadanya. Pengungsi tak berharta benda duduk juga seadanya di lantai tanpa alas, setidaknya merekalega sudah jauh dari bahaya dan keluarga lengkap disisi mereka. Tenaga kesehatan pontang-panting menyusun pos Triase dan klinikdarurat, dengan obat dan SDM tercecer entah kemana, beruntung ratusan relawan kesehatan maupun non-kesehatan tetap setia bersamakami, keikhlasan mereka takkan pernah terbeli. Entah sampai kapan amukan Merapi menjadi, entah sampai kapan ribuan pengungsiterdampar di sini, tanpa bekal, jauh dari rumah dan ternak yang mereka sayangi.

No comments: