i just like the way he wrote the story. and i would share it to all of  you, to tell how patethic the situation in Yogyakarta right now.
but once more, this is not a punishment. this is the way to make Jogja's people being more strong.
for the author :  let me share this ya! :)
source here.
Hujan abu masih turun tipis di luar jendela ketika saya menulis ini.  Limabelas jam yang lalu, jam 19.30, 4 November 2010, sedikit heranketika  ambulan jemputan tiba di rumah on time, saya dan rekan dari Puskesmas  berangkat tugas jaga pos kesehatan Hargobinangun. Cuacamendung, nyaman  menyeka kering abu yang membedaki Beran (ibukota administratif Sleman),  perlahan kami berangkat melintasi desa-desa menuju Hargobinangun, 17 km  dari puncak Merapi. Harapan yang cerah, jaga malam santai, cuaca dingin  yang nyaman, plus minumsusu dan obrolan hangat di pos kesehatan menanti  kami. Setidaknya itu bertahan sampai 1/4 perjalanan, ketika memasuki  wilayah Ngaglik,25 km dari puncak Merapi, kabut menyergap kami. Aneh,  kabut di jarak sejauh ini dari gunung. Kabut yang aneh pula, tidak  dingin dansejuk, tapi pucat, kering, pengap, tak bergerak, dan terasa  sangat berat untuk ditembus. Kabut serupa yang saya jumpai mengawali  hujanpasir erupsi besar Merapi Sabtu dini hari lalu. Pikiran saya  melayang jauh ke pos tujuan kami, amankah?. Di benak saya,  jangan-janganHargobinangun dan 5000 penghuninya sudah tenggelam dalam  pasir seperti kota Pompeii. Dan kami telusuri lembah-lembah gelap  desaterakhir dengan pikiran kelam.
Hingga kilometer terdekat  dengan barak pengungsian Hargobinangun kabut diam itu masih sangat  pekat. Di tepian jalan kaliurang, satukilometer di bawah barak, tampak  stasiun TV swasta sedang live di tepi jalan, agaknya menyadari juga  fenomena aneh setelah hujanseharian itu. Semoga mereka tidak membuat  berita menyesatkan seperti kemarin. Cukup melegakan. Lebih melegakan  lagi ketika beberaparatus meter kemudian kabut itu menipis, teriring  ramai cahaya balai desa Hargobinangun, barak pengungsian terbesar dan  terkokoh daribarak lain. Pukul delapan malam namun barak sudah sepi.  Dipeluk kabut yang berubah menjadi hujan abu ringan, nampaknya  semuapengungsi terbaring nyaman beristirahat di 3 komplek bangunan  permanen yang tersedia (balai desa, gedung SD dan SMP, dan  bangunankhusus barak raksasa hasil cicilan masyarakat Pakem). Dan pos  kesehatan, markas besar kami, masih tampak serupa, penuh tumpukan  obatyang terlalu lengkap karena banyak sponsor, catatan resep tak jelas,  register setumpuk, dan kardus-kardus masker, dan anggota-anggotaTagana  yang bercengkerama.
Menyenangkan jaga malam di pos kesehatan  Hargobinangun akhir-akhir ini, tenang, tidak begitu berjubel pasien.  Beruntung kami denganadanya beberapa pos kesehatan LSM yang didirikan di  sudut-sudut lain barak, beban berkurang, hanya cukup sedikit  koordinasi, obatmereka yang lebih lengkap dan coverage pasien maksimal.  Hingga untuk ukuran Puskesmas yang dipindah ke barak, kami bisa  bersantai,jalan-jalan, dan tidur tentu saja. Dan anggota-anggota Tagana  (Taruna Siaga Bencana) yang memiliki bench tepat di depan bench  kamiitulah pelampiasan keisengan. Kebetulan topik malam itu ketawa ala  Bernard Bear, dan ternyata mereka fasih menirukan gaya si beruanggendut  tersebut, sepertinya semalaman kami akan berhaha hihi.
Getaran  dan gemuruh merapi tak pernah henti terdengan sejak saya tiba. Akhirnya  terbiasa, baik pengungsi maupun saya, dengan bunyiseperti dentum, deru  dan guntur bersambungan yang membuat kaca berderak, hingga menggetarkan  badan yang diam. Jam menunjukkanpukul 23.30 ketika beruang-beruang di  pos kesehatan menggelar kasur dan membaca doa pengantar tidur, berharap  semua tenang. Semuaterlelap, kecuali saya yang memang tak mudah tidur di  kondisi tersebut. Saya mencoba mengabaikan, tapi menjelang pukul 00.00  sayarasakan bunyi gemuruh itu semakin keras, semakin dekat, semakin  mengguncang. Agaknya beberapa rekan dan pengungsi jugamerasakannya.  Mereka berjalan dan berkumpul di halaman luar balai desa. Saya bangkit,  memakai sepatu dan menatap mereka dari selasarpos kesehatan. Tampak  kepala desa dan koordinator barak sibuk mengontak HT, sesaat kemudian  tiba-tiba mereka berlari menujubeberapa barak, diikuti anggota-anggota  TNI. Saya masih berdiri di depan pos kesehatan, terheran dengan gemuruh  yang makin mengeras,dan mulai curiga ketika kabut aneh serupa ketika  saya tiba muncul kembali dan memekat. Tiba-tiba terdengar keributan,  pengungsi di barakterdekat berhamburan keluar menuju jalan, semakin  banyak yang menghambur keluar. Satu yang melintas saya hentikan, dan  pertanyakankenapa, jawaban menghambur dalam kepanikan "dok, semua  pengungsi diminta segera turun ke stadion Maguwoharjo!"
Maguwoharjo?  sungguh tak masuk akal menurut saya, bukankah itu di tepian kota? 25  kilometer lebih evakuasi masif ribuan orang dalamhitungan menit!??
Kepanikan  menyeruak, barak Hargobinangun yang semula lelap sontak bangun dalam  histeria ancaman bencana. Pengungsi berlarian kejalan, menaiki angkutan  apapun yang kebetulan berada. Puluhan TNI yang tegar tak kuasa menahan  5000an orang yang berhamburan,dalam teriak dan tangis, berebut  kendaraan.Truk, bus, mobil, pikap, pengangkut pasir sekejap penuh sesak  dengan manusia, berdesakan,berebutan, saling himpit. Carut marut suasana  panik, tangis bercampur dengan teriakan memanggil dan mencari sanak  keluarga. Sepasangmanula berpakaian lusuh seadanya, berusaha berlari  menuju jalan masing-masing tangan penuh memegang kardus, tikar dan  bungkusan;hebatnya mereka masih berusaha berpegang tangan. Seorang  lelaki renta, lupa tak menenteng apa-apa, berdiri kebingungan  melihatperebutan sudut ruang angkutan yang tersedia, mematung tanpa bisa  berkata; hingga beberapa anggota TNI mengangkatnya ke atas trukbak  terbuka. Anak-anak menangis, tak tahu apa yang diperbuat orang tuanya,  menyeret mereka dari tidur lelapnya. Semua teriakmenenangkan tenggelam  dalam badai kepanikan, hingga serak suara dan kami tertunduk putus asa.  Bayangkan, dalam 20 menit 5000orang telah bergerak dalam muatan penuh  sesak yang penuh tangis..
Dua orang jompo yang tak dapat berjalan  menjadi jatah evakuasi kami, ambulan yang penuh sesak beranjak pelan  menjadi angkutanpengungsi terakhir. Tatap mata nanar sang kakek menatap  balai pengungsian yang sekian hari telah dihuninya, ruang-ruang yang  semulariuh tampak senyap, pintu-pintunya ditutup dan dikunci oleh TNI  dan Tagana terakhir yang pemberani. Barang-barang pengungsi  tampakberceceran, di dalam maupun di halaman, terserak pula dalam  kenangan. banyak diantara mereka yang hanya membawa baju yang  merekapakai. Dalam senyap, ambulan kami melaju, dan hujan turun  perlahan...setidaknya bila memang itu dapat disebut hujan.
Semula  memang tetes air yang menyentuh lengan, namun beberapa saat kemudian  tetes itu menghitam dan berubah menjadi bulatan-bulatan besar tepat saat  kami memasuki ambulan, 15 menit setelah rombongan utama berangkat.  Kemudian bukan lagi air yang jatuh darilangit, namun lumpur bercampur  kerikil. Ambulan yang bergerak pelan, berjalan semakin pelan karena  penyeka kaca depan tak mampumenepis hujan lumpur. Sesekali kami  berhenti, menyiramkan air mineral kemasan ke kaca depan, sekalipun  sekian detik kemudian kaca itusudah terpekati pasir kembali. Menit demi  menit kami merangkak turun, ke selatan, menjauh dari sumber petaka.  Memasuki distrik Pakem,3 km di bawah Hargobinangun, kami baru menyadari  bahwa wilayah itu sudah seperti kota mati, listrik padam, hanya  pengendara sepedamotor berjajar di emper toko karena tak kuat menembus  hujan lumpur. Kemacetan terjadi di ketika melewati kampus UII 4 km  kemudian,agaknya para mahasiswa panik dan berebut mengungsi ketika  mengetahui rombongan utama pengungsi Hargobinangun melintas. Jalanutama  penuh, benturan antar kendaraan tak ayal terjadi. Terjebak dalam  kecepatan nol, kami pasrah. Saya hanya menatap kaca mobil yangtak mampu  meneruskan pandang. Gurat-gurat lumpur di balik kaca mengalir,  sebagaimana air mata ribuan pengungsi di kendaraan bakterbuka, menembus  siraman lumpur pasir dan kerikil, meniti kilo demi kilo yang berlalu  begitu pelan. Dan benar bahwa waktu terasabertahun untuk hal yang tak  kita sukai..
Duapuluhribu pengungsi bergerak sekaligus menembus  malam badai. Entah berapa ratus pengungsi yang tercerai dari keluarganya  danberapa lagi yang mengalami kecelakaan di perjalanan mengerikan  sekaligus menakjubkan ini..
Lebih dari satu jam perjalanan kami  memasuki pinggiran kota, melintas ringroad menuju Stadion Maguwoharjo.  Hujan tak turun sejak kamimendekati kota, tapi debu vulkanik pekat  menghambat pandang. Saya belum pernah datang ke stadion itu, hanya  mengamati foto, stadionbaru yang agak tersendat pembangunannya, landskap  absurd di tengah pemukiman penduduk suburban, yang belum disetting  sebagaibarak pengungsian. Namun bayangan kelam saya sontak hilang ketika  cahaya kemilau itu muncul di depan kami. Layaknya bahtera di  lautankelabu, bangunan besar itu terapung bercahaya, begitu cerah,  begitu hangat. Perlahan kami mendekat. Tiga lantai, penuh manusia,  danmasih juga dikitari manusia dan kendaraan. Puluhan petugas menyambut  dan mengarahkan kami. Perjalanan hitam berakhir, entah kenapabadan kami  yang diberati pasir dan debu, seolah terlepas dan menjadi ringan, sangat  ringan..
Entah kenapa, dalam kondisi seperti itu rasa lelah sama  sekali tak terasa. Selepas dropping pasien bawaan di ruang observasi,  saya masihmeneruskan pemeriksaan dan pengobatan umum hingga siang  menjelang. Pepatah kuno bilang, manusia lebih cepat letih bila  sedangaktivitas bersenang-senang.. benarkah?
HT berteriak,  mengabarkan banyak korban tewas di Argomulyo, Cangkringan.. Ya,  mengungsi adalah dilema. Mudah bagi mereka berkata"sudah disuruh  mengungsi tetap bandel".. mungkin sang pemberi komentar tersebut sekali  waktu perlu mengalami menjadi dan merasakanhidup sebagai pengungsi  Merapi.
Dan benar, masalah utama mobilisasi mendadak masif tentu  saja terpecahnya keluarga. Semenjak pagi, pengeras suara lebih  banyakmeyerukan nama orang-orang yang mencari anggota keluarganya.  Stadion Maguwo yang tak pernah memiliki perlengkapan barakpengungsian  disulap menjadi barak seadanya. Pengungsi tak berharta benda duduk juga  seadanya di lantai tanpa alas, setidaknya merekalega sudah jauh dari  bahaya dan keluarga lengkap disisi mereka. Tenaga kesehatan  pontang-panting menyusun pos Triase dan klinikdarurat, dengan obat dan  SDM tercecer entah kemana, beruntung ratusan relawan kesehatan maupun  non-kesehatan tetap setia bersamakami, keikhlasan mereka takkan pernah  terbeli. Entah sampai kapan amukan Merapi menjadi, entah sampai kapan  ribuan pengungsiterdampar di sini, tanpa bekal, jauh dari rumah dan  ternak yang mereka sayangi.
 
No comments:
Post a Comment