Monday, April 9, 2012

Ini Bukan Perjalanan Memori

Aku putuskan ini akan menjadi sebuah perjalanan memori. Kembali sejenak ke kota yang penuh kenyamanan, sebelum aku menghadapi fase hidup selanjutnya.

Ada setumpuk harapan terselip. Berharap setiap oksigen yang ku hirup sama segarnya. Berharap setiap terik matahari yang membakar sama perihnya. Berharap setiap langkah sama ringannya.

Keretaku sampai pukul lima. Langkah kaki ini aku derapkan kembali di Jogjakarta.

Embun selepas solat subuh memang sama dingin. Tetapi, ada segelintir kealfaan menghadang perlahan.

Perasaanku tidak seantusias dulu. Kamu tahu kenapa? Karena bukan kamu yang menungguku manis di gerbang Stasiun Tugu.

Lampu-lampu jalan masih sama indahnya. Kosongnya jalanan juga masih sama damainya. Jogjaku masih indah, tetapi Mengapa tidak meriah.


●●●



Sudah siang hari , dan nyatanya aku malah malas pergi karena teriknya matahari. Lalu buat apa aku kemari?

Aku seperti Mbah Surip. Bangun tidur, tidur lagi. Bangun lagi, tidur lagi.

Dan kemudian kuputuskan untuk melanjutkan niatanku kembali. Aku datang untuk memori.

Setiap jalanan yang kita lewati di kota ini. Setiap harum warung makan yang biasa kita singgahi. Aku terpaku.

Aku putuskan untuk membeli makanan dari tempat-tempat itu. Berharap ada perasaan yang sama. Berharap dapat merasakan sensasi yang serupa.

Bukan, bukan memori manis yang menghampiriku. Justru segerombol rasa getir menyeruak. Jantungku seperti terhimpit, sesak. Mataku perih, perih sekali. Bukan ini yang aku harapkan. Bukan, Tuhan.


●●●



Senja tiba. Aku berada di jalan besar sekitar bandara. Jalanan beratap langit biru mempesona. Tempat kita mengagumi perbukitan Wonosari. Tempat aku selalu meneriakkan, “lihaat..pesawatnya dekat sekali dari sini!”.

Kamu tahu? Rasa getir itu datang lagi.

Aku merindukanmu amat sangat. Semoga senja di tempatmu juga sama hangat. (Fira Basuki's words)


●●●


Hari ke dua. Aku bangun cukup pagi untuk menyelesaikan beberapa urusanku. Selepasnya, sudah aku putuskan tempat makan siang untuk hari ini.

Lokasi makan yang terpencil. Tempat makan favorit aku, kamu, dan teman-teman kita. Menemukan masakan Sunda di tanah Jawa seperti menemukan harta karun buatku. Menu sayur asem, ikan asin, dan sambal terasi yang hanya tersedia di hari Selasa dan Jumat bagai primadona di sini.

Aku coba makan dengan lahap. Aku coba makan tanpa mengingat. Seketika aku ingin mengubah tujuanku. Ini bukan perjalanan memori. Ini perjalanan biasa saja. Aku tidak ingin rasa getir menyesakkan itu datang lagi.

Kemudian hujan turun deras sekali menjelang magrib. Aku dalam perjalanan menuju sebuah toko buku. Bajuku basah, badanku dingin. Tapi aku tahu, dingin ini belum seberapa dibanding kekosongan di pikiranku.


●●●


Hari ke tiga. Aku memutuskan untuk meyudahi perjalanan ini.

Aku mulai mengingat kembali semuanya. Aku kira aku rindu pada ini semua. Aku kira aku bisa merasakan hal yang sama.

Aku rindu. Aku rindu kamu menunggu di depan pagar. Aku rindu kamu memakaikan mantel di kala hujan. Aku rindu kamu memakaikan pelindung kepala ketika tanganku penuh memegang barang. Aku rindu kamu menggenggam jariku dengan satu tangan. Aku rindu hari Sabtu yang selalu kita nantikan.

Aku menarik nafas panjang. Seketika aku merasa perjalanan ini tidak berguna. Jogjakarta memang sangat berarti, tapi ternyata kamu lah yang member arti.

Lampu-lampu jalan masih sama indahnya. Kosongnya jalanan juga masih sama damainya.

Biar memori tetap jadi memori. Percuma aku mencari-cari, toh faktanya tidak ada satupun perasaan yang aku dapatkan dengan serupa.

Selamat tinggal, Jogjakarta. Terima kasih telah menjadi tempat kami menyulam memori terbaik dalam hidup, sampai hari ini.





Yogyakarta, 4 Maret 2012.